Mengangkat dan Mengembangkan Kembali Nilai-nilai Luhur Yang Terkandung Dalam Falsafah “Budaya Betang” Budaya Suku Dayak Ngaju Pada Kehidupan Modern
Latar Belakang
Sejak lebih dari 1500 tahun yang lalu kehidupan nenek moyang masyarakat Dayak yang datang ke Pulau Kalimantan merupakan masyarakat yang telah memiliki budaya yang tinggi. Namun dalam perkembangannya ditanah yang baru (Kalimantan Tengah sekarang) kebudayaan mereka tidak berkembang bahkan cenderung mengalami kemunduran.
Dalam kurun waktu sebelum Perdamaian Tumbang Anoi pada tahun 1894 masyarakat Dayak bermukin terpisah-pisah di perkampungan-perkampungan yang tersebar disepanjang tepi sungai. Sesuai dengan kebutuhannya untuk tempat tinggal dibangun rumah panjang yang disebut “Betang” tersebut. Apabila diperkampungan dirasakan sebuah betang tidak mencukupi, maka atas mufakat bersama dibangun Betang baru. Betang sebagai tempat hunian bersama diwilayah pedalaman Kalimantan Tengah, masih bertahan sampai abad ke-XIX (KMA.M.Usop, 1993)
Dalam betang sebuah hunian baik untuk seluruh atau sebagian warga perkampungan ikut bertumbuh kembang kebudayaan, adat-istiadat dan hukum adat masyarakat Dayak. Warga Betang dipimpin oleh kepala Betang dibantu oleh perangkat organisasi dilingkungan Betang tersebut sebagai suatu perkampungan. Berbagai hal menyangkut kepentingan bersama dibahas melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Seiring dengan perkembangan zaman lebih-lebih dampak dari masuknya kebudayaan dari luar, maka Betang sebagai tempat hunian bersama menjadi kurang menarik dan makin lama makin ditinggalkan. Arus kehidupan modern yang lebih bersifat individualistis serta pengaruh berkembangnya pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, secara perlahan dan pasti Betang sebagai bentuk tempat hunian bersama tidak dipertahankan lagi. Betang-betang yang masih ada hingga saat ini merupakan sisa-sisa Betang yang dibangun pada abad XIX atau sebelumnya. Oleh pemerintah dan masyarakat Betang yang masih utuh dipugar kembali dan dijadikan sebagai obyek wisata.
Meskipun demikian, dewasa ini kembali disadari bahwa kearifan dan kebijakan yang diterapkan oleh Kepala Betang masa lampau beserta organisasi perangkatnya ternyata memiliki nilai budaya yang luhur dan tinggi. Nenek moyang kita telah mewariskan suatu pandangan hidup yang mampu bertahan sepanjang masa. Banyak tokoh masyarakat dan budayawan daerah berpandangan adalah menjadi kewajiban bersama untuk mengangkat, menghidupkan kembali serta melestarikan aspek-aspek budaya dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat Betang menjadi suatu falsafah hidup yang disebut falsafah Budaya Betang.
Motto “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” mempunyai makna bahwa setiap warga pendatang baru wajib menghormati budaya dan adat istiadat masyarakat setempat. Falsafah Budaya Betang dimaksudkan sebagai pedoman yang mengatur pergaulan hidup antar sesama warga masyarakat yang bersifat rukun dan damai, toleransi tinggi diantara sesama warga atau kelompok masyarakat yang berbeda. Konflik etnis yang telah terjadi adalah merupakan akibat dari tidak di-pedomaninya motto “Dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung” sehingga budaya dan adat istiadat masyarakat Dayak selaku penduduk asli kurang dihormati atau diabaikan.
Tidak dipungkiri bahwa masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah adalah masyarakat yang mempunyai akar budaya sendiri, mempunyai adat-isitadat yang dihormati dan menjadi pedoman sikap dan perilaku dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Sekilas Tentang Suku Bangsa Dan Bahasa Dayak Ngaju
1. Nenek Moyang Suku Dayak Ngaju; Kedatangan dan Penyebarannya
Berdasarkan laporan para ahli antropologi, sesungguhnya suku bangsa Dayak yang mendiami pulau Kalimantan (dahulu disebut Borneo) bukan benar-benar penduduk asli. Penduduk asli pulau Borneo yang pertama adalah dengan ciri fisik rambut hitam keriting, kulit hitam, hidung pesek dan tinggi badan rata-rata 120-130 cm. Mereka digolongkan kedalam suku bangsa negrito sebagaimana yang masih tersisa dalam kelompok kecil di Malaysia Utara.
Dipulau Kalimantan (Borneo) kelompok suku bangsa negrito ini diduga telah musnah setelah datangnya suku bangsa baru yang berimigrasi dari benua Asia sebelah timur, yaitu dari China.
Menurut para ahli Ethnologi, di Asia pada awal-awal abad masehi, pernah terjadi 2 (dua) kali perpindahan bangsa-bangsa. Yang pertama terjadi pada abad ke-II dan yang kedua terjadi pada abad ke-IV. Suku bangsa yang datang dan akhirnya mendiami pulau Kalimantan (Borneo) sebagian besar datang pada perpindahan bangsa yang kedua, yaitu pada abad ke-IV. (Koentjaraningrat, 1979)
Terjadinya perpindahan bangsa-bangsa tersebut dilakukan untuk menghindari dari kekejaman suku bangsa Tar-tar dari utara yang terjadi sejak jamannya Jenghis Khan.
Kelompok bangsa-bangsa yang berpindah itulah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya bangsa baru seperti Bangsa Jepang, Taiwan, Philipina dan sebagian suku bangsa di Indonesia, antara lain suku bangsa di manado/gorontalo/toraja di sulawesi ; suku-suku di riau kepulauan, suku batak/suku nias di sumatera ; serta suku Dayak di pulau Kalimantan (Borneo) (Ilo, 1989). Jika demikian timbul pertanyaan :
a. Termasuk rumpun bangsa manakah orang / suku Dayak itu?
b. Darimanakah mereka berasal?
c. Mengapa mereka disebut suku Dayak?
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, nenek moyang orang / suku Dayak berasal dari wilayah pegunungan Yunan bagian selatan berbatasan dengan Vietnam sekarang. Kelompok migran yang masuk ke wilayah Kalimantan Tengah sekarang dan menjadi nenek moyang bagi sebagian besar orang / suku Dayak di Kalimantan Tengah merupakan bagian dari perpindahan bangsa-bangsa yang ke-2 pada abad ke-IV.
Diduga mereka masuk ke Kalimantan Tengah melalui sedikitnya 3 koridor yaitu :
a. Koridor dari Kalimantan Barat menyusuri sungai Kapuas sehingga akhirnya menyebrangi / melintas pegunungan Schwaner.
b. Koridor I daru Kalimantan Timur melalui kabupaten Kutai Barat sekarang.
c. Koridor II dari Kalimantan Timur melalui kabupaten Pasir sekarang.
(Musni Umberan, 1984)
Dalam buku “Maneser Panatau Tatu Hiang”; menyelami kekayaan leluhur yang disusun oleh Dra. Nila Riwut, 2003 tentang “Asal Usul Bangsa Suku Dayak’, dikemukakan adanya pendapat orang lain yang menyebutkan bahwa suku Dayak berasal dari Proto Melayu / Melayu tua.
Pendapat tersebut di atas sangat spekulatif dan kurang beralasan. Pegunungan Yunan letaknya di wilayah Cina barat laut. Ras melayu jelas tidak berasal dari benua asia timur tersebut. Nenek orang Dayak Kalimantan Tengah jelas menyebar dari sebelah utara yaitu dari daerah hulu sungai. Penyebarannya terbalik bukan dari muara sungai di sebelah selatan Kalimantan Tengah melainkan menyebar dari arah utara dan dari arah timur, artinya justru menyebar dari arah hulu sungai.
Dengan demikian asal usul orang Dayak dapat disimpulkan bukan dari ras melayu melainkan lebih tepat dari Ras Neo Mongolik. Berpindahnya nenek moyang suku Dayak dari daerah asal (Pegunungan Yunan) dapat dipastikan telah mempunyai kebudayaan yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan bahwa mereka telah memiliki kemampuan navigasi yang memungkinkan mereka berlayar menyeberangi laut Cina selatan. Ditempat yang baru mereka telah mampu mengenal batu-batuan yang mengandung bijih besi, memproses besi menggunakan tanur yang dibuatnya sendiri. Hasil besi yang diproses itu disebut dengan “Sanaman Mantikei” atau besi mantikei yang terkenal sangat kuat.
Masih menjadi perdebatan apakah yang dimaksud dengan Dayak? Ini dikarenakan suku-suku yang mendiami pulau borneo (Kalimantan) secara umum disebut suku Dayak. Tanpa menyalahkan pendapat-pendapat sebagaimana yang diungkapkan dalam buku “Maneser Panatau Tatu Hiang” berikut ini dikemukakan versi lain tentang apakah arti Dayak itu.
Pada zaman sebelum kemerdekaan sampai beberapa tahun awal kemerdekaan, disekolah-sekolah setingkat SD kelas 5-6 dan tingkat SLTP serta SLTA, khususnya untuk mata pelajaran Ilmu Bumi menggunakan buku atlas yang diadakan oleh Pemerintah. Khusus pada peta Pulau Kalimantan untuk menunjukan nama-nama sungai tertulis antara lain:
Dayak Kapuas (Besar), Dayak Ketapang, Dayak Lamandau, Dayak Arut, Dayak Kumai, Dayak Seruyan, Dayak Pembuang, Dayak Sampit, Dayak Mentaya, Dayak Sebangau Besar, Dayak Sebangau Kecil, Dayak Kahayan, Dayak Kapuas (kecil), Dayak Murung, Dayak Barito, Dayak Mahakam, Dayau Berau, dll.
Dengan demikian yang dimaksud dengan Dayak adalah sungai. Kata Dayak yang artinya sungai tersebut terdapat pada salah satu anak Suku Benuaq di Kalimantan Timur serta bahasa suku (lokal) di Kalimantan Barat dan Serawak. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa suku bangsa yang mendiami pulau Borneo diberikan nama suku bangsa Dayak yang artinya suku bangsa yang bermukim di sepanjang tepi sungai. (Musni Umberan, 1994)
Menurut Cilik Riwut dalam bukunya “Kalimantan Memanggil” (1958) Suku Dayak Ngaju merupakan Suku-Induk terbagi atas 4 (empat) Suku Besar, yaitu:
1. Suku Ngaju dengan 50 anak Suku
2. Suku Maanyan dengan 8 anak suku
3. Suku Lawangan dengan 21 anak suku
4. Suku Dusun dengan 24 anak suku
2. Bahasa Dayak Ngaju Sebagai Lingua Franca
Bahasa Ngaju dipergunakan komunikasi antar warga dari berbagai anak suku, disamping menggunakan bahasa Ibu masing-masing sebagai bahasa sehari-hari diwilayahnya. Sebaliknya mereka yang lahir dan dibesarkan dilingkungan Suku-Induk Dayak Ngaju, tidak mampu berbicara menggunakan bahasa-bahasa lokal anak-anak suku tersebut.
Dengan demikian bahasa Dayak Ngaju berfungsi hanya di Bahasa Pengantar atau Lingua Franca pada sebagian besar warga suku-suku kecil. Sebagian kecil lainnya, meskipun belum dapat berkomunikasi lisan, paling tidak mereka memahami apa yang diucapkan dalam bahasa Dayak Ngaju.
Hal yang unik dan perlu pengkajian lebih lanjut sejumlah kata-kata dalam Bahasa Dayak Ngaju banyak persamaannya dengan Bahasa Tagalog di Philipina, misalnya “ Kuman” yang artinya “Makan” serta nama-nama sejumlah binatang seperti “Langau” (Lalat), “Manuk” (Ayam), “Bawui/Babui” (Babi), “Pusa/Pus” (Kucing).
Dalam hal kesenian “Tari Kanjan Halu” pada Suku Dayak Ngaju sangat mirip dengan “Barong Dance” di Philipina dengan berbagai variasi gerakan yang diperkirakan sebagai pengaruh Dansa bangsa Spanyol dan / atau Amerika Serikat (Musni Umberan, 1994).
Peran Adat Istiadat Dalam Kehidupan Masyarakat
1. Peran Adat Istiadat Dalam Kehidupan Masyarakat
Menurut Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional (1994), Adat istiadat merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta dipertanggunjawabkan oleh masyarakat adat setempat secara turun temurun.
Adapun peran adat istiadat menjadi acuan interaksi tingkah laku antar sesama warga masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tata Pergaulan Hidup Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak, adat-istiadat mengajarkan bahwa setiap orang harus “Belum Bahadat” artinya hidup beradat. Ketentuan Belum Bahadat tersebut berlaku bagi setiap insan warga masyarakat Dayak, yang diajarkan mulai dari anak-anak, masa remaja, masa akhil baliq/pemuda. Belum Bahadat juga dituntut kepada orang dewasa atau terhadap mereka baik yang terpelajar maupun yang kurang terpelajar, terhadap mereka yang kaya dan miskin maupun terhadap mereka yang berpangkat atau warga masyarakat biasa. Bagaimana peran adat-isitiadat dalam tata pergaulan masyarakat, antara lain:
1. 1 Adat isitiadat mengajarkan bahwa anak wajib hormat kepada ayah-ibu, kakek-nenek, atau kepada paman-bibi, dan anak muda wajib hormat kepada orang lain yang lebih tua.
1. 2 Adat istiadat mengajarkan kepada setiap orang terhadap mereka yang telah menikah dan telah mempunyai anak
1.3 Adat isitiadat mengajarkan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan harus saling hormat-menghormati
1.4 Adat istiadat mengajarkan tata cara bertamu atau menerima tamu
1.5 Habaring Hurung (tolong-menolong), Royong (bekerja bersama), Handep (Arisan kerja), acara manugal (pekerjaan menanam bibit diladang) dan haburuh (pembayaran upah kepada pekerja yang mengerjakan ladang)
1.6 Kepemilikan atas tanah
1.7 Perbuatan kriminal
(Biro Pemerintahan Desa Setda Prop. Kalteng, 2000)
b. Tata Pergaulan Muda-mudi
Meskipun prinsip-prinsip etika pergaulan muda-mudi tidak banyak berubah, namun perilaku pergaulan antara muda-mudi telah banyak berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan tingkat pendidikan.
1. Periode Perubahan Tata Cara Pergaulan Muda-mudi
a) Periode sampai dengan awal abad XX pergaulan dan frekwensi pertemuan antara muda-mudi secara langsung masih sangat terbatas. Terhadap anak gadis usia 12 tahun mulai dilakukan pengawasan ketat oleh orang tua, saudara-saudara dan kerabat dekat; bahkan untuk keluarga terpandang anak gadis seusia itu mulai dipingit.
b) Sejak Negara Republik Indonesia merdeka terutama mulai dekade 50-an generasi muda memperoleh kesempatan besar menempuh pendidikan yang lebih tinggi di Kuala Kapuas, Banjarmasin dan di Pulau Jawa, maka tata pergaulan dikalangan muda-mudi mengalami perubahan dan semakin terbuka. Sikap kaku dan kekangan dari orang tua makin lunak. Kalangan muda-mudi relatif lebih bebas untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Dalam hal perjodohan orang tua mulai tidak selalu memaksakan kehendak. Anak muda mulai diberikan kelonggaran untuk bergaul sepanjang masih dalam batas kesopanan dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan menurut adat isitiadat.
2. Batasan-batasan menurut Adat Istiadat
Meskipun dikalangan muda-mudi telah meraih “kebebasan” sebagaimana dimaksud diatas, adat-isitiadat tetap memberikan acuan sebagai berikut :
a) Adat isitiadat Suku Dayak Ngaju memandang bahwa aspek virginitas seorang gadis merupakan hal yang sangat penting dan harus dipertahankan.
b) Masyarakat Dayak Ngaju mempunyai pandangan bahwa hubungan seks bebas adalah tabu oleh karena itu tidak sesuai dengan adat-isitiadat
c) Kehamilan akibat hubungan seks bebas merupakan aib besar tidak hanya bagi sang gadis yang bersangkutan namun lebih-lebih kepada keluarga dan kerabat dekat.
d) Bilamana seorang gadis yang tidak bersuami ternyata hamil dan melahirkan anak, maka anak tersebut disebut “anak ampang” atau “anak sarau” dan tidak sesuai dengan adat-isitiadat, maka masyarakat sangat memandang rendah terhadap ibu dan anak tersebut.
e) Agar tidak menjadi aib dilingkungan keluarga, maka adat istiadat mengajarkan bahwa kepada setiap orang tua agar sejak dini memberikan pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti kepada anak-anak dalama keluarga, khususnya kepada anak gadis.
f) Adat isitiadat Suku Dayak Ngaju melarang keras terjadinya hubungan seks atau perkawinan antar laki-laki dan perempuan menurut silsilah tidak sederajat, yaitu missal antara yang berstatus paman dengan keponakan atau antara yang berstatus kakek dengan cucu, meskipun usia mereka segenerasi. Dalam bahsa Dayak Ngaju disebut “sala hurui”. Apabila itu terjadi itu adalah aib.
Falsafah hidup masyarakat Dayak Ngaju berpandangan bahwa peristiwa seperti itu disebut “dosa tulah”. Dosa Tulah akan menyebabkan terjadinya ketidak-seimbangan kosmos yang mengakibatkan malapetaka kepada manusia, binatang, dan alam sekitar.
Menghindari dampak buruk yang mungkin terjadi maka adat mewajibkan agar perkawinan tersebut dilaksanakan dengan upacara khusus dan hina yang disebut “kawin tulah” (KMA.M.Usop, 2001).
c. Perkawinan Menurut Adat
Menurut adat istiadat Dayak Ngaju, cara-cara perkawinan terbagi atas:
a. Perkawinan sesuai dengan ketentuan adat yang lazim
b. Perkawinan melalui cara yang tidak lazim
c. Perkawinan Tulah
(KMA.M.Usop, 2001)
Pandangan Adat Tentang Hubungan Antara Manusia Dengan Makhluk Lain Serta Lingkungan Alam Sekitar
Menurut Prof. KMA.M. Usop, MA dalam bukunya “Profil Kebudayaan Dayak di Kalimantan Tengah” (1995), Suku Dayak Ngaju mendiami wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang relatif sedikit. Diwilayah pemerintah kota Palangka Raya dengan total jumlah penduduk 172.732 (statistik tahun 2002) diasumsikan sekitar 120.000 jiwa (±67%) adalah penduduk asli Suku Dayak Ngaju yang tersebar diseluruh wilayah seluas 240.000 hektar yang sebagian besar masih berupa hutan. Demikian pula diseluruh wilayah propinsi Kalimantan Tengah dengan luas 15.380.000 hektar hanya didiami oleh penduduk kurang dari 2 (dua) juta jiwa. Oleh karena itu dapat dipahami apabila pandangan hidup suku Dayak mempunyai keterkaitan yang kuat dengan makhluk binatang, tumbuh-tumbuhan serta lingkungan alam sekitarnya.
1. Hubungan Manusia dengan Binatang
Sama halnya dengan masyarakat lain, masyarakat Suku Dayak Ngaju juga memandang bahwa binatang adalah makhluk ciptaan Tuhan. Oleh karena itu adat istiadat Suku Dayak Ngaju mengajarkan tentang bagaimana manusia memperlakukan binatang.
Bagaimana pandangan masyarakat Dayak Ngaju tentang hubungan antara manusia dan binatang dijelaskan sebagai berikut:
Dalam kebudayaan Suku Dayak Ngaju beberapa jenis binatang memperoleh tempat istimewa, antara lain:
a) Burung Tingang merupakan lambing kemasyhuran dan keagungan
b) Burung Antang (elang) merupakan lamabang keberanian, kecerdikan serta kemampuan memberi petunjuk peruntunganbaik atau buruk.
Dalam acara ritual “Manenung atau acara ritual “manajah antang” untuk maksud mengetahui “dahiang baya”, maka burung Antang/elang digunakan sebagai mediator.
c) Burung Bakaka diyakini memberi petunjuk bagi pencari ikan apakah memperoleh banyak ikan atau tidak.
d) Burung Kalajalau (murai) dianggap sebagai burung milik dewa. Memperlakukan burung ini dengan semena-mena dapat membawa malapetaka.
e) Burung Tambalui, Kangkamiak dan Kulang-kulit sebagai burung hantu diyakini sebagai burung iblis.
f) Burung Bubut mampu memberikan informasi bahwa tidak lama lagi air sungai akan meluap atau terjadi banjir.
g) Tambun (ular besar/naga) melambangkan kearifan, kebijaksanaan dan kekuatan.
h) Buaya sering dianggap sebagai penjelmaan makhluk alam bawah (jatah)
i) Angui (bunglon) diyakini sebagai perwujudan saudara Ranying Hatala Langit yang bungsu (saudara nomor 7 dari Tuhan/dewa).
Dalam kehidupan masyarakat Dayak, adat melarang siapapun menganiaya binatang. Sebaliknya adat juga melarang manusia mempunyai hubungan berlebihan dengan binatang apalagi sampai terjadi manusia menyetubuhi binatang atau disetubuhi binatang. Apabila hal itu terjadi maka orang tersebut merupakan manusia terkutuk.
2. Hubungan antara Manusia dengan Tumbuh-tumbuhan dan Lingkungan Alam Sekitar
Adat istiadat Dayak Ngaju sangat memperhatikan terpeliharanya kelestarian alam. Hal ini sangat mewarnai bagaimana mereka memperlakukan lingkungan alam sekitarnya. Falsafah hidup masyarakat Dayak mempunyai pandangan bahwa manusia sebagai mikro-kosmos merupakan bagian dari makro-kosmos, sehingga dalam hidupnya manusia menyatu dengan alam. Oleh karena itu manusia dilarang merusak alam karena perbuatan demikian sebenarnya manusia merusak diri dan kehidupan itu sendiri.
Beberapa contoh kearifan tradisional tersebut adalah sebagai berikut:
2.1 Dalam bertani/berladang orang Dayak Ngaju telah mengatur penggarapan lahan dalam satu siklus.
2.2 Sejak dahulu kala nenek moyang masyarakat Dayak Ngaju setiap desa memelihara suatu kawasan terbatas hutan suaka alam yang disebut “Pahewan”.
2.3 Kearifan tradisional adat lainnya adalah apa yang disebut: Hak Ulayat dan Hutan Adat
2.4 Kemudian untuk menunjukkan bagaimana eratnya manusia dengan tumbuh-tumbuhan dan alam sekitar dapat diberikan contoh sbb:
a. pada umumnya orang Dayak mengetahui bahwa tidak lama lagi permukaan air sungai akan naik sampai suatu batas tertentu berdasarkan petunjuk tumbuhan suatu jenis cendawan kecil pada kayu lapuk atau dari munculnya akar baru pada pohon/dahan suatu jenis kayu yang tumbuh ditepi sungai.
b. Dalam menebang kayu untuk bahan bangunan, orang Dayak memahami kapan waktu terbaik pohon kayu ditebang sehingga nanti bahan bangunan dari kayu tersebut tidak mudah dimakan rayap
c. Orang-orang tua masyarakat Dayak dapat meramalkan bahwa dalam tahun tersebut akan terjadi kemarau panjang atau bukan melalui ramalan berdasarkan kedudukan bintang.
(KMA.M.Usop, 1995)
Pengaruh Hukum Adat dan Adat Istiadat Terhadap Pemerintah dan Masyarakat Kota Palangka Raya Kini dan Kedepan
1. Perkembangan Sebelum Tahun 1997
Banyak pihak menganggap bahwa adat istiadat merupakan sesuatu yang sudah kuno dan ketinggalan jaman. Kelompok tersebut berpendapat bahwa adat istiadat sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan masa kini sehingga tidak perlu dipertahankna lagi, apalagi dilestarikan.
Namun bagi mereka yang memiliki wawasan luas, pendapat tersebut terbantah oelh kenyataan bahwa Jepang sebagai Negara maju justru tetap mempertahankan serta melestarikan adat isitiadat bangsanya dalam kehidupan modern sekarang.
Di Indonesia pada beberapa daerah yang justru relatif maju dari daerah-daerah lainnya pengaruh adat istiadat dalam tata kehidupan masyarakat masih dominan, misalnya Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atau Propinsi Bali.
Pada masa pemerintahan orde baru dengan alasan mengedepankan budaya nasional, pengaruh serta perkembangan adat istiadat justru “dikebiri”. Banyak hal yang kental bernuansa lokal dianggap sebagai kuno atau ketinggalan zaman sehingga semakin disisihkan.
Ironisnya budaya dan adat istiadat yang disebarluaskan melalui pola semacam “indoktrinasi” pada zaman pemerintahan orde lama, bukan digali dari budaya setempat.
Masyarakat Dayak Ngaju dengan terpaksa menerima proses marginalisasi pada hampir semua kebijakan pembangunan yang bersifat sentralistik. Kalimantan Tengah selalu dikatakan sebagai tanah harapan, namun bersamaan dengan itu kebijakan yang diterapkan justru berakibat pada penjarahan sumber daya alam daerah secara tidak bertanggung jawab. Lembaga adat serta masyarakat Dayak Ngaju cukup puas dibangku penonton. Seiring dengan terpuruknya peranan Hukum Adat maka penghargaan kepada adat kebiasaan juga ikut memudar.
Dikota Palangka Raya kita menyaksikan semakin bertambah rumah tangga warga Dayak Ngaju dimana anak-anaknya tidak bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa ibu. Mudah-mudahan keadaan demikian bukan dilatar-belakangi oleh sikap rumah tangga baru warga suku Dayak yang ingin lebih cepat menghapus entitas ke-Dayak-an pada generasi anak-anaknya. Contoh lain yang sering ditemui bahwa dikalangan anak muda warga Dayak Ngaju di kota Palangka Raya dalam berkomunikasi dengan sesama rekannya (yang nota bene dari keluarga Dayak Ngaju juga) seolah-olah mereka lebih bangga menggunakan bahasa Banjar daripada bahasa ibu yaitu Bahasa Dayak Ngaju.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini masa pemerintahan orde baru/reformasi terlihat adanya perhatian Pemerintah Pusat berkenaan dengan Pembinaan Lembaga Adat dan Masyarakat didaerah (Instruksi MENDAGRI Nomor 3 Tahun 1997 dan Peraturan Daerah Nomor 14 tahun 1998). Namun hal itu masih sebatas wacana tanpa ada aksi-tindak yang lebih konkrit dilapangan. Meskipun demikian, Pemerintah Kota Palangka Raya bersama-sama dengan warga masyarakat Dayak Ngaju diwilayah ini tetap menyadari bahwa kearifan tradisional yang berakar pada budaya dan adat memiliki nilai-nilai luhur yang pantas dilestarikan dan ditumbuh-kembangkan.
2. Pengaruh Adat Istiadat dalam Kehidupan Masyarakat Masa Kini
Meskipun dilanda oleh arus kehidupan modern serta pengaruh budaya daerah lain, dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan Kota Palangka Raya terlihat bahwa adat istiadat masih dipertahankan
Dikalangan warga masyarakat yang menganut agama Kaharingan/Hindu Kaharingan, pengaruh Adat-Istiadat masih sangat kental sehingga kadang-kadang sulit memilah-milah bagian mana yang merupakan ritual agama (Aspek Theologis) serta bagian mana yang merupakan acara adat (Aspek Sosiologis).
Sedangkan dikalangan warga yang menganut Agama Islam, hanya sedikit saja keluarga dari masyarakat Dayak Ngaju yang memeluk Agama Islam yang mempertahankan acara Adat Dayak. Sebagian besar besar mereka malah mengadopsi adat suku Banjar atau Melayu.
Dalam wilayah Pemerintahan Kota Palangka Raya pada umumnya adat-istiadat mempunyai pengaruh yang kuat dalam tata pergaulan masyarakat wilayah pedesaan. Sebaliknya pada wilayah perkotaan, pengaruh adat-istiadat jauh lebih longgar. Namun sejak terjadinya musibah Nasional Konflik Etnik pada bulan februari 2001, geliat kesadaran masyarakat adat semakin terasa baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari maupun yang terkait dengan kegiatan pemerintahan atau peristiwa budaya. Bentuk kegiatan yang menunjukkan pengaruh adat-istiadat dewasa ini antara lain:
1. Acara Perkawinan Adat
2. Acara Porong Pantan dalam rangka menyambut tamu hormat
3. Acara Balian Karunya dalam rangka suatu perayaan/keramaian daerah
4. Acara Tampung Tawar dalam rangka peresmian gedung utama Perkantoran Pemerintah
5. Perkembangan Tarian Daerah seiring berkembangnya sejumlah sanggar seni
6. Festifal Tandak
7. Pakaian Adat
8. Home Industri Benang Bintik
9. Home Industri Anyaman Rotan, Kerajinan Getah Nyaho
10. Acara Perdamaian Adat (apabila terjadi peristiwa kecelakaan lalu lintas, perkelahian/sengketa dan lain-lain)
11. Upacara Manyanggar
12. Desain Motif Adat pada bangunan rumah atau gedung Pemerintah
13. Pemberian Gelar Kehormatan Adat dan lain-lain.
(Siun, 2001)
3. Perkembangan Pembangunan Kota Palangka Raya Kedepan
Sejak awal pembangunan kota Palangka Raya mempunyai motto 3 M, artinya Modal, Model, dan Modern. Selanjutnya oleh Walikota saat itu Drs. Donis Singaraca yang menjabat dari tahun 1988 sampai tahun 1993 Kota Palangka Raya diberikan entitas sebagai Kota Cantik yang merupakan akronim dari:
C = Terencana
A = Aman
N = Nyaman
T = Tertib
I = Indah
K = Keterbukaan
Motto tersebut kemudian dipopulerkan oleh penggantinya yang dijabat oleh Drs. Nahson Taway yang sekarang menjabat Wakil Gubernur Kalimantan Tengah. Atribut 3 M (Modal, Model, dan Modern) serta CANTIK (Terencana, Aman, Nyaman, Tertib, Indah, Keterbukaan) tersebut lebih sempurna apabila diperkaya dengan ciri khas daerah dan nuansa adat. Dengan demikian maka Kota Palangka Raya disamping menjadi Pusat Pemerintahan dan Pusat Pendidikan di Kalimantan Tengah sekaligus juga menjadi Pusat Kebudayaan dan Pariwisata.
(Tim Penulis Kota Palangka Raya, 2003)
Kesimpulan
1. Bahwa nenek moyang Suku Dayak Ngaju berasal dari daerah pegunungan Yunan bagian selatan yang melakukan pengungsian mencari tempat pemukiman baru bersamaan dengan perpindahan bangsa-bangsa yang kedua pada abad ke-IV, masuk ke wilayah Kalimantan Tengah sekarang melalui 3 (tiga) koridor utama melewati wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur sekarang. Penyebaran Suku Dayak dari sebelah utara (hulu sungai Katingan dan Kahayan) menyebar kesebagian besar wilayah Kalimantan Tengah sekarang.
2. Kata Dayak artinya sungai yang terdapat pada salah satu anak Suku Benuaq di Kalimantan Timur serta bahasa suku (lokal) di Kalimantan Barat dan Serawak. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa suku bangsa yang mendiami pulau borneo diberikan nama suku bangsa Dayak yang artinya suku bangsa yang bermukim di sepanjang tepi sungai.
3. Adat-istiadat Suku Dayak Ngaju menganut ”falsafah betang” yaitu sistem nilai-nilai/norma kehidupan bermasyarakat berdasarkan kekeluargaan, kebersamaan, kesetaraan dalam masyarakat terbuka (civil society) yang ber-Bhineka Tunggal Ika, dimana dalam falsafah itu juga mengatur tentang Hubungan Manusia dengan sesamanya, Manusia dengan Binatang, Manusia dengan Tumbuh-tumbuhan (alam sekitar) yang mana kesemuanya adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Falsafah “Budaya Betang”, Hukum Adat dan Adat Istiadat menjadi landasan kearifan tradisional yang masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan modern sekarang ini dimana tentunya setiap warga haruslah mengaplikasikan motto “dimana langit dipijak disitu langit dijunjung” sebagai pedoman yang mengatur pergaulan hidup antar sesama warga masyarakat yang bersifat rukun dan damai, toleransi tinggi diantara sesama warga atau kelompok masyarakat yang berbeda serta agar mampu menyesuaikan diri dengan adat-istiadat serta menghindarkan diri dari perilaku yang tidak sesuai dengan Adat-istiadat dan hukum adat.
4. Bahwa menerapkan adat-istiadat dalam kehidupan modern bukanlah sesuatu yang naïf atau ketinggalan zaman. Kita semua tentunya dapat belajar dari bangsa Jepang sebagai negara maju yang tetap mempertahankan adat-istiadat masyarakat dan bangsanya.
Saran-saran
Agar nilai-nilai luhur yang terkandung dalam falsafah “Budaya Betang” dapat lestari dan selaras dengan perkembangan zaman modern dewasa ini diharapkan kepada:
1. Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Tengah melakukan tindakan konkrit yang nyata dalam mewujudkan pelestarian terhadap “Budaya Betang” tersebut.
2. Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Tengah menerbitkan Kamus Bahasa Dayak Ngaju – Bahasa Indonesia dan bahkan mungkin Bahasa Dayak Ngaju – Bahasa Inggris.
3. Dinas Pendidikan Nasional Propinsi Kalimantan Tengah menetapkan dan menambahkan mata pelajaran muatan lokal “Bahasa Daerah Dayak Ngaju” pada Mata Pelajaran Bahasa di tingkat SD, SMP, SMA sederajat ; maupun Fakultas Sastra dan Seni pada Perguruan Tinggi.
4. Pemerintah Daerah dalam hal ini pihak Museum Propinsi Kalimantan Tengah untuk lebih memberikan perhatian khusus terhadap situs-situs budaya.
5. Dinas Kehutanan dan Konservasi SDA Propinsi Kalimantan Tengah untuk lebih tegas dalam pengambilan kebijakan dalam upaya menjaga dan melestarikan Sumber Daya Alam yang ada dari ancaman eksplorasi dari pihak-pihak yang kurang bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pemerintahan Desa Setda Propinsi Kalimantan Tengah. Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah. 2000
Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Tengah. 1994
Ilo. Konvensi Masyarakat Adat dan Suku Asli di Negara-Negara Merdeka. 1989
Koentjaraningrat. Antropologi Budaya. 1979
KMA.M.Usop. Ketua Umum BP-KRKT, Budaya Betang: Sistem Nilai Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah. 2001
……. Profil Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah. 1995
…… Rapat Damai Tumbang Anoi. 1993
Musni Umberan. Sejarah Kebudayaan Kalimantan. 1994
Nila Riwut. Maneser Panatau Tatu Hiang. Penerbit Pusakalima. 2003
Siun. Aktualisasi Hukum Adat Guna Mendukung Otonomi Daerah di Kalimantan Tengah. 2001
Tim Penulis Pemerintah Kota Palangka Raya. Sejarah Kota Palangka Raya. 2003
Monggo aja mas Hadi Wirojati.. semoga bermanfaat.. Sallam
salam kelanl mas Deno, maaf tulisan mas Deno boleh tak ambil buat saya link ke blognya sahabat saya..? mohon ijin ya.. sebagai referensi untuk tinjauan filsafat suku dayak..,
sebelumnya terima kasih saya ucapkan..
salam damai..
Thanks atas kunjungannya mas riyanto 🙂 salam kenal
Culture oriented yth
Sebuah pageleran budaya Dayak yg spektakuler;
ditengah hingar bingarnya budaya pop dan modern;
kita digiring kekehidupan ratusan tahun silam;
ditempat kehidupan yang mengedepankan dimensi mistis dan magis;
disuatu masa dimana alam menjadi tuan kehidupan;
sebuah pagelaran budaya yang unik dan menarik;
karena dipentaskan di RUMAH BETANG yg menjadi ikon dayak;
inilah dia peristiwa budaya suku dayak Desa;
rasa syukur dan kegembiraan dipayungi oleh dimensi mistis dan magis;
sebuah peristiwa budaya semi religius,
acara “NYELAPAT TAUN” suku dayak DESA, mengangkat adat:
“NGAMIK SEMENGAT PADI”.
Datang dan saksikan pada tgl 26-28 Juni 2009 disatu-satunya “RUMAH BETANG” Ensaid Panjang, Kec. Kelam Permai, Kab. Sintang KALBAR.